Nabi Muhammad (semoga solawat dan salam selalu tercurah kepada beliau), adalah figur utama dan sentra dalam kehidupan dan keimanan umat muslim. Kisah kehidupannya, baik sebelum maupun sesudah kenabian, penuh dengan inspirasi, pelajaran, petunjuk dan teladan bagi umat Islam sepanjang zaman.
Kehidupan Muhammad sebelum diangkat sebagai Nabi
Muhammad lahir di Mekah pada tahun 570 M, dari pasangan seorang saudagar pedagang bernama Abdullah dan Siti Aminah. Keluarga ini termasuk bagian dari suku yang disegani di kota Mekah, yaitu suku Quraish. Sayangnya, Abdullah wafat sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Aminah yang ditinggalkan terpaksa membesarkan Muhammad sendirian dengan bantuan kakek Muhammad dari pihak ayahnya, yaitu Abdul Mutthalib.
Silakan baca:Biografi Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat sebagai Nabi.
Menerima panggilan sebagai nabi (610 M)
Di usia 40 tahun, Muhammad punya kebiasaan ‘menyepi’ ke sebuah goa tidak jauh dari Mekah ketika saat ingin menyendiri. Beliau menghabiskan waktu seharian untuk berkontemplasi, memikirkan keadaan masyarakat di sekitar beliau, memikirkan kebenaran terdalam dari hidup dan kehidupan.
Hinga suatu hari di saat berkontemplasi itu, malaikat Jibril mendatangi Muhammad dan mengatakan bahwa telah Tuhan memilih beliau sebagai pembawa pesan dari Tuhan semesta alam.
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5)
Demi mengalami kejadian ini, Muhammad secara naluriah, merasa ‘terguncang, dan cepat-cepat menemui istri tercinta beliau, Khadijah.
Siti Khadijah meyakinkan Nabi, bahwa Tuhan tidak akan menjerumuskan beliau dalam keburukan dan kesengsaraan, karena beliau telah sungguh orang yang berperangai baik dan berakhlak mulia.
Seiring berjalannya waktu, Muhammad SAW mulai menerima panggilan ini dan mulai berdo’a dengan sungguh-sungguh. Setelah selama 3 tahun menunggu, Muhammad mulai menerima wahyu-wahyu selanjutnya melalui malaikat Jibril.
Keadaan umat muslim di Mekah (613 – 619 M)
Nabi Muhammad menunggu dengan sabar selama 3 tahun sejak menerima wahyu pertama. Selama masa itu, beliau lebih mengintensifkan ibadah dan pendalaman spiritual.
Turunnya wahyu kemudian berlanjut, dan ayat-ayat berikutnya yang turun meyakinkan Nabi, bahwa Allah tidak akan meninggalkannya. Sebaliknya, Muhammad diperintahkan untuk memberi peringatan orang-orang tentang perilaku buruk mereka, menyuruh mereka menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim, serta hanya menyembah kepada Tuhan yang Esa, yaitu Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam.
Sesuai petunjuk dalam ayat-ayat Qur’an, awalnya Nabi menyimpan ayat-ayat wahyu Tuhan itu sebagai suatu rahasia, dan hanya menceritakannya kepada lingkungan keluarga dan sahabat-sahabat terdekat saja.
Seiring waktu, Nabi Muhammad mulai mendakwahkan ajaran Islam kepada anggota suku beliau, lalu kepada akhirnya kepada seluruh penduduk Mekah.
Namun sayangnya, ajaran dan ajakannya tidak lah mendapat sambutan baik. Banyak orang-orang terpandang dan kaya di kota Mekah, karena memang Mekah sejak lama menjadi pusat spiritual dari politeisme serta menjadi kota penghubung atau rute perniagaan yang ramai kala itu.
Mereka (orang-orang kaya), tidak senang dengan dakwah Muhammad yang mengajarkan kesetaraan kedudukan sosial, menolak dan mengecam penyembahan berhala serta berbagi harta kepada orang miskin dan mereka yang membutuhkan.
Karena itu, pengikut Nabi di awal-awal dakwah beliau, kebanyakan adalah dari golongan masyarakat bawah, para budak serta kaum perempuan. Pengikut muslim mula-mula ini mendapat perlakuan keji mengerikan dan penganiayaan dari golongan menengah atas yang terpandang di Mekah. Beberapa dianiaya, beberapa terbunuh dan beberapa lagi mengungsi ke Abesinia (Habsyah).
Bahkan tidak sampai di situ, penduduk Mekah melakukan boikot sosial kepada pengikut Nabi Muhammad, mereka tidak boleh melakukan jual beli, dilarang bergaul dan bersosialisasi. Di lingkungan padang pasir yang keras, hal ini sama saja dengan pembunuhan perlahan.
Tahun kesedihan (619 M)
Di tahun-tahun sulit yang penuh penderitaan ini, ada satu tahun yang benar-benar sulit bagi Muhammad. Tahun ini kemudian dikenal dengan nama ‘tahun kesedihan’. Di tahun ini, istri tercinta Nabi, Siti Khadijah, berpulang. Tidak lama kemudian disusul pula paman sekaligus pelindungnya, yaitu Abu Thalib. Tentu, tanpa perlindungan dari Abu Thalib orang-orang muslim benar-benar menjadi bulan-bulanan dan sasaran ejekan dari seluruh negeri.
Namun, di tengah-tengah kesulitan sangat ini, Nabi SAW mengalami peristiwa penting, yang dikenal dengan peristiwa Isra’ Mi’raj, yaitu perjalanan di waktu malam lalu naik ke langit menghadap ke hadirat Tuhan.
Berlangsung di bulan Rajab, Nabi mengadakan perjalanan ke kota Yerusalem, mengunjungi masjid Al-Aqso, dan dari sana ‘naik ke langit’. Peristiwa ini memberi kepercayaan diri dan harapan kepada Nabi (juga kaum muslimin) untuk bisa melewati masa-masa sulit yang sedang dialami.
Hijrah ke Madinah (622 M)
Saat keadaan di Mekah sudah sedemikian berat bagi orang-orang muslim, satu tawaran datang dari penduduk Yatsrib, sebuah kota kecil di utara Mekah.
Penduduk kota Yatsrib lebih terbiasa hidup dalam keragaman agama, karena mereka tinggal dengan suku-suku pemeluk Nasrani dan Yahudi di sana. Penduduk Yatsrib membuka pintu kepada kaum muslimin serta menjanjikan bantuan kepada mereka.
Akhirnya, dalam kelompok-kelompok kecil dan dilakukan di malam hari, kaum muslimin mulai hijrah ke kota baru, yaitu Yatsrib. Akibat dari hal ini, penduduk Mekah melakukan perampasan dan penguasaan harta benda dari mereka yang meninggalkan kota Mekah, serta merencanakan pembunuhan terhadap Nabi.
Nabi Muhammad beserta sahabat terdekatnya, Abu Bakar, kemudian meninggalkan Mekah dan menuju ke Yatsrib. Beliau menugaskan saudara sepupu yang juga sahabat terdekatnya, Ali, untuk sementara tinggal di kota guna menyelesaikan beberapa hal yang perlu dilakukan, sebelum benar-benar hijrah sepenuhnya.
Ketika Nabi Muhammad sampai ke Yatsrib, kota itu kemudian dinamakan Madinah An-Nabi (kota nabi). Kota itu juga dikenal dengan sebutan Madinatul Al-Munawwarah (kota yang tercerahkan). Migrasi atau hijrah kaum muslimin ini, sepenuhnya rampung di tahun 622 M, yang dihitung sebagai ‘tahun nol’ dalam sistem penanggalan Islam atau tahun Hijriah.
Dampak atau peran dari peristiwa hijrah ini, dalam sejarah Islam menjadi hal yang amat penting. Untuk kali pertamanya, orang-orang muslim dapat hidup tanpa bayang-bayang ancaman dan penganiayaan karena keyakinannya. Mereka dapat membentuk komunitas sosial kemasyarakatan berdasarkan ajaran Islam dengan leluasa. Mereka dapat beribadah dan menjalankan syariat dengan bebas dan nyaman.
Itu semua mengantarkan kamu muslimin, di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad, membangun sebuah masyarakat atau komunitas sosial berdasarkan keadilan, kesamaan derajat dan keimanan. Nabi Muhammad bukan hanya berperan sebagai pemimpin keagamaan, namun juga sekaligus pemimpin sosial dan politik.
Peperangan dan perundingan (624-627 M)
Suku-suku penduduk Mekah, tetap tidak senang melihat kaum muslimin dapat hidup ‘nyaman’ di Madinah. Mereka terus berusaha untuk menghancurkan umat Islam, dan dari situ maka terjadilah beberapa perang dalam sejarah Islam.
Perang Badar
Dua tahun berselang setelah hijrah, pasukan Mekah mengepung kota Madinah. Kala itu kaum muslimin kalah dalam jumlah pasukan, 3:1. Namun akhirnya kaum muslimin bisa memenangkan pertempuran ini dalam rangka mempertahankan keyakinan mereka. Hal ini membuat moral dan keyakinan mereka semakin bertambah kuat, keyakinan bahwa Allah akan selalu menolong mereka.
Perang Uhud
Setahun setelah dikalahkan dalam perang Badar, pasukan Mekah kembali melakukan agresi, kali ini bahkan dengan kekuatan berlipat-lipat.
Dalam perang ini keadaan kaum muslimin tidak begitu menggembirakan, dan memberi pelajaran amat penting tentang percaya diri yang berlebihan dan ketamakan.
Perang Parit (Khondaq)
Orang-orang Mekah kemudian menyusun siasat baru untuk menyerang umat muslim. Mereka merangkul suku-suku pedalaman, membentuk sekutu dan menyerang Madinah dari segala arah.
Sekali lagi, menghadapi serangan luar biasa ini, pasukan muslim dapat mempertahankan diri dengan cara membangun parit di sekeliling kota untuk menangkal serangan pasukan musuh.
Melalui peperangan-peperangan itu, membuat penduduk Mekah mulai menyadari bahwa kaum muslimin telah memiliki kekuatan militer yang tidak bisa dianggap remeh, bahkan sangat sulit untuk ditaklukkan.
Karena itu, upaya mereka akhirnya beralih ke jalur diplomasi. Banyak kalangan umat Islam berusaha mencegah Nabi untuk melakukan perundingan dengan penduduk Mekah, karena bagi orang-orang Islam, penduduk Mekah terbukti adalah orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Namun, Nabi Muhammad bersikeras ingin melakukan rekonsiliasi dengan melakukan perjanjian damai.
Penaklukkan Mekah
Selama 6 tahun sejak hijrah ke Madinah, kaum muslimin telah membuktikan bahwa kekuatan senjata tidak cukup mampu untuk menghancurkan mereka. Maka Nabi Muhammad dan pembesar-pembesar Mekah memulai periode diplomasi untuk memperbaiki hubungan kedua pihak.
Setelah sekian lamanya meninggalkan kampung halaman, Nabi Muhammad dan kaum muslimin berniat untuk mengunjungi kota Mekah. Maka berangkatlah rombongan menuju Mekah, dan berhenti di sebuah tempat yang dikenal dengan dataran Hudaibiyah.
Setelah melalui serangkaian perundingan kedua belah pihak akhirnya menyetujui Perjanjian Hudaibiyah.
Dari luar, tampaknya perjanjian Hudaibiyah hanya menguntungkan pihak orang-orang Mekah dan sangat merugikan bagi kaum muslimin. Banyak dari kalangan muslimin tidak mengerti mengapa Nabi mau melakukan menyepakati perjanjian yang terlihat berat sebelah dan tidak adil. Berdasarkan perjanjian Hudaibiyah:
- Ada masa damai (gencatan senjata) selama 10 tahun, di mana umat muslim boleh mengunjungi Mekah, dan orang-orang Mekah dapat bebas melakukan perjalanan niaga ke Syiria melalui jalur yang dikuasai umat muslim.
- Umat muslim harus menunggu satu tahun kemudian untuk bisa memasuki Mekah.
- Setiap suku-suku lainnya, bebas untuk menentukan sikap untuk beraliansi ke pihak manapun.
- Setiap pelancong atau pengungsi dari Mekah, bisa kembali lagi Mekah, namun tidak sebaliknya.
Namun, dengan ketaatan penuh, umat muslim dengan berat hati mengikuti keputusan Nabi untuk menerima perjanjian. Maka masa damai untuk sementara dapat tercapai. Dengan demikian, alih-alih menguras energi ke masalah pertahanan, kaum muslimin dapat lebih menyiarkan ajara-ajaran Islam ke negeri-negeri lainnya. Belakangan hal ini membuat umat muslim insyaf bahwa keputusan yang diambil Nabi Muhammad adalah sebuah keputusan yang tepat.
Namun, benar saja. Tidak butuh terlalu lama bagi penduduk Mekah untuk melanggar kesepakatan yang telah dibuat, dengan melakukan serangan kepada sekutu-sekutu kaum muslimin.
Maka kemudian, pasukan muslim berangkat menuju kota Mekah, dan berhasil memasuki kota Mekah tanpa pertumpahan darah. Nabi Muhammad mengumpulkan semua penduduk kota Mekah dan memberikan pengampunan massal, yang artinya kaum muslimin hanya ingin hidup damai, bukan ingin menguasai atau memaksakan kehendak.
Kejadian ini membuat tidak sedikit penduduk Mekah, akhirnya terbuka mata hatinya lalu memeluk Islam. Setelah itu, Nabi Muhammad SAW kembali lagi ke Madinah.
Nabi Muhammad wafat (632 M)
Satu dekade sejak hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad melakukan perjalanan haji ke Mekah. Di sana beliau berkumpul bersama ratusan ribu umat Islam dari berbagai penjuru Arabia. Di padang Arafah, Nabi Muhammad menyampaikan apa yang kemudian dikenal dengan Khutbah Perpisahan. Dan pelaksanaan ibadah haji saat itu dikenal dengan sebutan Haji Wada’.
Beberapa minggu kemudian, sekembalinya Nabi ke Madinah, beliau mulai mengalami sakit-sakitan sampai akhirnya wafat menemui Kekasihnya, Allah SWT.
Kematian Nabi, menimbulkan gejolak dan perdebatan di antara kaum muslimin tentang siapa yang akan memimpin umat Islam berikutnya. Hal ini kemudian dapat terselesaikan dengan ditunjuknya Abu Bakar sebagai khalifah atau pemimpin umat muslim.
Warisan yang ditinggal Nabi Muhammad SAW, adalah sebuah agama tauhid murni, yang tidak mentolelir kemusyrikan jenis apapun, bahwa manusia hanya boleh dan wajib menyembah kepada satu Tuhan saja, yaitu Allah ‘Aza Wajalla.
Warisan lainnya lagi adalah sistem hukum yang berdasarkan keadilan, keseimbangan hidup dalam kesamaan derajat sosial, kemurahan hati dan persaudaraan (ukhuwah).
Nabi Muhammad SAW, sungguh satu-satunya orang yang telah mampu merubah satu kondisi sosial yang begitu rusak akhlaknya, menjadi satu tatanan penuh keadilan, serta membentuk satu generasi yang dapat dijadikan tauladan sepanjang zaman.