Apa kabar sahabat erudisi? Pada postingan kali ini kita akan membahas tentang asal usul bahasa jawa. Karena saya orang Jawa, saya penasaran pengen nyari tau darimana sih bahasa jawa itu berasal? kok bisa sih bahasa jawa itu ada? Nah sekarang mari kita simak penjelasan berikut ini!
Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta, dan penduduk pulau Jawa ini merupakan penduduk terbanyak dan terpadat di dunia. Banyak lo sejarah Indonesia yang berlangsung di pulau ini.
Jawa dahulu merupakan pusat dari beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dan ini berdampak sangat besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah, Indonesia.
Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara).
Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran ‘a’ tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi jika di Solo orang makan ‘sego’ (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan ‘sega’.
Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf ‘k’ yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
Dialek Cirebonan berkaitan erat dengan kultur Jawa-Pantura, yaitu Cirebon, Indrmayu sampai dengan Serang; oleh karenanya bahasa yang mereka gunakan pun memiliki ciri khas dengan icon jawa-pantura.
Kosa-kata bahasa jawa-pantura boleh jadi “ada yang sama” dengan bahasa banyumasan; hal itu boleh jadi disebabkan oleh fungsi bahasa komunikasi (jawa, kawi, sanskerta) yang bersifat universal.
Akan tetapi sesungguhnya dialek jawa-pantura tetap mempunyai ciri khas yang tidak dapat disamakan dengan dialek banyumasan. Dengan demikian, kita juga sulit mengatakan bahwa wong Cirebon, Indramayu, Serang disebut ngapak-ngapak. Tidak pula untuk dialek Tegal.
Ngapak, tetap lebih pas dialamatkan kepada (khusus) dialek banyumasan. Namun demikian dalam menyikapi siapa yang berbahasa Ngapak, kita tidak bisa membandingkan-lurus dengan area administratif-geografis.
Misalnya, tidak seluruh kawasan Kab. Cilacap disebut Ngapak. Cilacap Barat, seperti di beberapa desa di Kecamatan Karang Pucung, Cimanggu, Wanareja, dan Majenang, malah sudah agak “bengkok” ke dialek “kulonan” atau — pinjam istilah dalam seni karawitan, disebut dialek “jaipongan.”
Saya berharap istilah Ngapak tidak dipolitisasi untuk “lawan-kata” dialek “wetanan” (Yogya-Sala) atau dialek “bandhek.” Diskusi ini tentu akan menjadi sangat panjang, apabila para pihak tidak saling menerima keadaan.
Di antara permasalahan yang sering mencuat, adalah bahwa bahasa jawa berasal dari bahasa jawa-kuna, kawi; sebagaimana bahasa tutur orang-orang kuna. Kita bisa berpedoman pada aksen Ha Na Ca Ra Ka,,,
buka Ho No Co Ro Ko…
Bahasa Ngapak juga terncam punah karena (mungkin) akan ditinggalkan oleh warganya. Generasi sekarang (maaf, para kawula muda) nyaris kesulitan cara menulis bahasa jawa dengan aksara latin.
Apalagi dengan huruf jawa Ha Na Ca Ra Ka… Disamping itu, pihak Pemerintah (Jawa Tengah) belum memberikan dukungan terhadap kelestarian bahasa Ngapak. Sebagai misal bahasa pengantar di sekolah-sekolah di kawasan Ngapak (mungkin) tidak diwajibkan mengunakan bahasa Ngapak, tetapi malahan menggunakan bahasa bandhek. Nah.
Para sedulur, nuwun sewu, cara nulis basa jawa “sing bener” ya kudu nurut maring aksara jawa Ha Na Ca R Ka. Aksara jawa langka vokal “O” anane “A”.
Jajalen panjenengan tindak maring Yogya, aksara jawa neng papan-papan Nama Jalan, Gedung, mesthi apa anane ora nganggo “taling-tarung.” Contone : Pasar Beringharjo; nulise ya Beringharja. Kota Solo, jan-jane asline ya “SALA.” Jajalen sih dibukak nek ana neng musium Pustakaraja (angger ana).
Menurut sejarahnya, bahasa Jawa Banten mulai dituturkan di zaman Kesultanan Banten pada abad ke-16. Di zaman itu, bahasa Jawa yang diucapkan di Banten tiada bedanya dengan bahasa di Cirebon, sedikit diwarnai dialek Banyumasan.
Asal muasal kerajaan Banten memang berasal laskar gabungan Demak dan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir utara Kerajaan Pajajaran. Namun, bahasa Jawa Banten mulai terlihat bedanya, apa lagi daerah penuturannya dikelilingi daerah penuturan bahasa Sunda dan Betawi.
Bahasa ini menjadi bahasa utama Kesultanan Banten (tingkatan bebasan) yang menempati Keraton Surosowan. Bahasa ini juga menjadi bahasa sehari – harinya warga Banten Lor (Banten Utara).
Bahasa Jawa Banten atau bahasa Jawa dialek Banten ini dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah barat Kabupaten Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga banyak pengaruh bahasa Sunda dan Betawi.
Bahasa Jawa di Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu tingkatan bebasan (krama) dan standar.
Dalam bahasa Jawa dialek Banten (Jawa Serang), pengucapan huruf ‘e’, ada dua versi. ada yang diucapkan ‘e’ saja, seperti pada kata “teman”. Dan juga ada yang diucapkan ‘a’, seperti pada kata “Apa”.
Daerah yang melafalkan ‘a’ adalah kecamatan Keragilan, Kibin, Cikande, Kopo, Pamarayan, dan daerah timurnya. Sedangkan daerah yang melafalkan ‘e’ adalah kecamatan Serang, Cipocok Jaya, Kasemen, Bojonegara, Kramatwatu, Ciruas, Anyer, dan seberang baratnya.