Banyak istilah ‘alay’ yang beredar di masa sekarang, namun istilah “cabe-cabean” kini menjadi istilah yang lagi hot di kalangan masyarakat kita terutama kawula muda. Kerap kali kita mendengar istilah ini dalam pergaulan sehari-hari, yang sering di pakai sebagai julukan bahkan bermakna ejekan kepada mereka remaja wanita yang seksi, berpakaian mini, seringkali cari sensasi dan dianggap ‘waw’ oleh sebagian laki-laki.
Bukan hanya itu, istilah ini juga merujuk pada remaja wanita yang suka berbonceng tiga, memakai celana pendek dan suka berkeliaran di fly over. Namun istilah “cabe-cabean” sebenarnya merupakan kependekan makna dari “Cewe Alay Bahan Exxxan”, sebutan bagi cewek remaja yang sering hadir di balapan motor liar, dimana para pemenang dari balapan liar itu bisa mengencaninya.
Yang patut menjadi perhatian, istilah cabe-cabean merupakan fenomena budaya anak muda yang muncul dari realitas masyarakat dan berkaitan dengan identitas perempuan di tengah ruang publik kita. Ia muncul dari realitas masyarakat perkotaan, dimana terkait dengan tata ruang perkotaan. Tak dapat di pungkiri bahwa perkembangan budaya masyarakat selalu terkait dengan space dan places dimana perilaku budaya senantiasa muncul dan terwujud dengan berbagai pola aktivitas pelakunya dalam sebuah seting ruang. Bahkan setiap penyusunan spasial (spacial organzation) memiliki konsekuensi sosial (Zahnd, 1999: 249).
Maka dapatlah dipahami bahwa tata ruang publik sebagai tempat masyarakat bertemu, berkumpul dan berinteraksi, di dalam prosesnya mendorong perilaku kehidupan sehari-hari. Sehingga secara kontekstual proses perubahan kognisi, sikap dan perilaku masyarakat sangat terkait dengan perkembangan tata ruang publik yang ada. Kita semua tahu bahwa ruang-ruang publik yang ada di masyarakat perkotaan di dominasi oleh ruang komersial dan pusat-pusat hiburan yang tumbuh semakin subur.
Sehingga muncul budaya anak muda yang berorientasi pada gaya, penampilan diri dan senang-senang. Bahkan ruang-ruang yang tersedia sangat jarang berorientasi pada nilai-nilai edukatif, di lain pihak ruang-ruang publik yang berorientasi pada hiburan mempunyai prosentase jauh lebih tinggi.
Artinya perubahan sikap atau tingkah laku remaja perkotaan yang mengarah kapada perilaku yang negatif sangat terkait dengan semakin minimnya ruang publik yang bersifat edukatif yang bisa menjadi wadah para remaja dalam mengisi waktu luangnya. Hal ini sangat berhubungan dengan kebijakan pemerintah terkait pembangunan tata ruang perkotaan, yang pasti akan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat, serta munculnya budaya baru.
Bahkan ketika fenomena cabe-cabean dianggap muncul dari arena balapan liar adalah sebuah bukti bahwa ia muncul karena minimnya ruang publik untuk melakukan hubungan sosial dan interaksi secara beradab. Minimnya sarana atau media bagi para pemuda-pemudi ini untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif. Apalagi jika kita bicara fenomena cabe-cabean ini terkait dengan peran perempuan dalam ruang publik kita. Dimana perempuan hanya sekedar menjadi objek seksual belaka untuk menyenangkan hasrat laki-laki. Sehingga istilah cabe-cabean merupakan cara pandang laki-laki yang membentuk streotype yang merendahkan perempuan serta salah satu bentuk kekerasan berbasis gender.
Bahkan jika di tinjau lebih jauh, adanya istilah “cabe-cabean” merupakan sebuah praktik politik kultural melalui “penamaan” yang kaitannya dengan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Praktik politik kultural melalui penamaan ini (cabe-cabean) berpotensi besar dalam pembentukan identitas perempuan (remaja perempuan) yang di konstruksi oleh budaya partriarkal (laki-laki). Yang di takutkan dari munculnya istilah “cabe-cabean” ini adalah ia menjadi sebuah dasar pemahaman yang dapat membentuk identitas dan subjek perempuan di tengah masyarakat kita.