Maraknya kasus pelecehan dan kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia cukup mencengangkan berbagai pihak. Tentu masih hangat di ingatan kita mengenai YY, gadis berusia 14 tahun yang mengalami pemerkosaan dan akhirnya berujung pada penganiayaan sadis yang berujung kematian.
Belum lagi habis kontroversi masalah hukuman yang pantas dijatuhkan pada ke 14 orang pelakunya, muncul lagi kasus pelecehan seksual yang menimpa anak berusia 2 setengah tahun yang juga harus kehilangan nyawanya di tangan pelaku.
Parahnya lagi belum lama ini juga ada kasus tersadis yang menimpa EF, gadis berusia 18 tahun yang meregang nyawa di tangan tiga pria psikopat. Mengapa saya katakan tersadis? Bagaimana tidak, gagang cangkul ditusukkan dari kelamin hingga tembus ke bagian hati dan paru!
Ini hanya beberapa kasus saja, masih banyak kasus serupa lainnya.
Pertanyaannya sekarang, apakah regulasi yang ada selama ini tidak cukup efektif mencegah terjadi kekerasan seksual? Mungkinkah hukuman yang diharapkan memberi efek jera tidak berjalan dengan baik?
Akhirnya muncul beberapa opsi mengenai tambahan hukuman bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.
Beberapa waktu yang lalu, berbagai pendapat muncul dari berbagai kalangan, menyuarakan hukuman yang pantas bagi para pelaku kejahatan seksual. Yang paling menuai banyak perhatian yaitu hukuman kebiri, namun lagi-lagi wacana ini menuai kontroversi.
Apa itu Kebiri?
Pengebirian atau disebut juga kastrasi adalah suatu cara yang dilakukan untuk membatasi atau menghilangkan seluruh atau sebagian fungsi seksual yang dilakukan baik pada hewan ataupun manusia.
Pada prakteknya, kebiri sudah dilakukan sejak jaman dahulu dengan berbagai macam tujuan, mulai dari sebagai bentuk hukuman atau pencegahan terhadap perilaku yang dianggap nantinya dapat berimbas pada kepentingan kerajaan dalam sejarah Tiongkok.
Di masa kini, praktiknya pun tetap berjalan namun dengan cara yang berbeda. Jika di jaman-jaman sebelum ini, proses pengebirian dilakukan dengan cara yang cukup ‘membahayakan’, yaitu dengan memotong langsung organ atau alat vital, yang tak jarang berujung pada kematian.
Saat ini, pengebirian dilakukan dengan proses pembedahan steril atau dengan proses pengebirian kimia dengan tujuan berbeda, misalnya tujuan pengobatan kanker prostat atau untuk kepentingan lain seperti para kaum transeksual yang ingin merubah diri mereka menjadi perempuan.
Dalam kasus pengebirian sebagai hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual, kebiri yang dimaksudkan adalah kebiri secara kimiawi, bertujuan membatasi atau menghilangkan fungsi seksual pada pria (pelaku kejahatan seksual). Caranya melalui suntikan bahan kimia tertentu yang dapat menghambat hormon testosteron, yang mampu meredam hasrat seksual pada pria tersebut.
Hukuman kebiri ini dianggap mampu menekan kesempatan atau peluang para pelaku melakukan kejahatan yang sama di kemudian hari.
Kontroversi Hukuman Kebiri
Dulu, kontroversi kebiri lebih karena membahayakan nyawa, tapi sekarang di mana resiko itu dianggap sudah dapat diredam, apalagi dengan proses pengebirian kimia, maka sebagian kalangan mendukung wacana ini.
Hukuman ini diharapkan mampu memperkecil peluang para pelaku untuk melakukan kejahatan yang sama serta dianggap bisa memberi efek jera kepada para pelaku serta menjadi kontrol yang dianggap paling efektif untuk menekan tingkat kejahatan seksual pada anak dan perempuan. Mengingat regulasi dan hukuman yang ada selama ini dianggap tidak mampu menekan angka kejahatan seksual.
Namun di sisi lain, sebagian beranggapan bahwa pengebirian sebaiknya tidak dilakukan dengan berbagai alasan. Selain karena alasan HAM, pengebirian kimia tidak hanya akan menghambat hormon testoteron kepada terhukum, tapi juga menghambat fungsi lain seperti misalnya fungsi otot-otot tertentu dan menghalangi fungsi kognitif. Karenanya, hukuman yang awalnya bertujuan menghilangkan hasrat atau dorongan seksual, nantinya akan memberi efek hukuman lain terhadap terpidana, yang mana tidak lagi menjadi tujuan dari pengebirian itu sendiri.
Terlepas dari kontroversi tentang pengebirian, perhatian kita seharusnya tetap pada pokok permasalahan, yaitu pencegahan bagi “pengebirian” masa depan bangsa ini.
Tentu saja, penegakan hukum sangat perlu, tetapi pencegahan terhadap kejadian serupa tidak terulang lagi, harusnya menjadi fokus utama.
Sebenarnya ada opsi lain yang bisa dilakukan daripada hanya terpaku pada suatu wacana. Pencegahan bisa dilakukan dari berbagai aspek dan dapat dimulai dari diri sendiri dan lingkungan rumah tangga dengan lebih meningkatkan kesadaran dan kepekaan orang tua dan masyarakat. Pendampingan, juga pendidikan di sekolah serta kampanye anti kekerasan pada anak dan perempuan, perlu ditingkatkan dengan pengemasan yang lebih inovatif sehingga benar-benar mampu menyadarkan semua orang betapa problema ini sungguh sangat mengancam masa depan anak-anak.
Selain itu, masyarakat pun bisa ambil bagian sebagai kontrol atau pengawasan terhadap berbagai macam perilaku sosial yang menyimpang, sehingga di kemudian hari bukan hanya kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak saja yang dapat ditekan, tapi juga kasus-kasus lainnya.
Menyiapkan masa depan untuk anak cucu, sekaligus menyiapkan anak cucu untuk menghadapi masa depan, adalah langkah preventif utama mencegah terjadi berbagai masalah kekerasan anak. Agar tujuan ini tercapai, setiap individu harus menyadari bahwa tanggung jawab bukan hanya ada pada pemerintah, bukan hanya pada mereka para aktivis perempuan dan anak, atau orang-orang tertentu.
Tanggung jawab itu ada pada kita semua!