Latar Belakang Bilal
Bilal bin Rabah berasal dari Abesinia (Ethiopia). Ia dibawa ke Mekah sebagai seorang budak yang diperjualbelikan yang kala itu perbudakan berkembang pesat sebelum kedatangan Islam. Dia dibeli oleh seorang kejam dan bengis bernama Umayyah bin Khalaf. Umayah sendiri adalah seorang kepala suku di Mekah yang mati-matian membela penyembahan berhala kala itu.
Bilal bekerja tanpa lelah, mulai dari menggembalakan unta serta menyiapkan makanan bagi majikannya. Hampir tidak ada harapan apapun untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik bagi Bilal saat itu.
Menerima Islam
Suatu hari, ketika berada di pasar, Bilal pertama kali mendengar seruan serta ajaran-ajaran Islam. Dia sangat tertarik dengan ajaran Islam yang mengutuk keras terhadap penyembahan berhala serta menyerukan keadilan dan kesetaraan derajat manusia, tanpa memandang latar belakang dan status sosialnya.
Hingga akhirnya kemudian Bilal memeluk Islam di tangan Abu Bakar.
Namun, karena status sosialnya yang rendah di mata masyarakat Mekah saat itu, Bilal kerap menjadi sasaran ejekan, penganiayaan bahkan ancaman untuk dibunuh karena keimanannya.
Kala itu, belum terjadi ada seorang budak yang ‘menentang’ kemauan dari majikannya. Seorang budak, tidak punya kemerdekaan berpikir dan menentukan nasibnya sendiri. Seorang budak, seperti Bilal, dianggap tidak lebih seperti layaknya binatang yang bisa dipaksakan untuk melakukan apapun sesuai keinginan majikannya.
Akhirnya Umayah bin Khalaf, sang majikan menjadi sangat marah. Ia memerintahkan untuk menyiksa Bilal, mencambuk, memukuli lalu meninggalkannya di padang pasir dengan sebuah batu besar menindih dadanya.
Tetapi, Maha Suci Allah, dengan segala rasa sakit dan penyiksaan itu, Bilal sepenuhnya berserah diri kepada Tuhan, dan dari bibirnya hanya terucapkan: Allahu Ahad, Allah adalah Tuhan yang Esa.
Beberapa lama kemudian, Abu Bakar akhirnya mendekati Umayah untuk berupaya ‘membeli’ Bilal dari kekuasaannya. Setelah berhasil membelinya, Abu Bakar justru kemudian membebaskan Bilal. Jadilah Bilal sebagai pribadi yang merdeka, yang berhak menentukan langkah dan keputusannya sendiri.
Sejak saat itu, Bilal menjadi salah satu sahabat terpercaya Rasulullah yang selalu menemani beliau ke manapun beliau pergi.
Menjadi seorang muadzin
Demi menghadapi tekanan dan penyiksaan dari orang-orang kafir Mekah, akhirnya orang-orang muslim, atas perintah Rasulullah, memutuskan untuk berhijrah ke Madinah.
Salah satu hal yang pertama kali terpikirkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, sesampainya hijrah ke Madinah, adalah membangun tempat ibadah, yaitu masjid. Kemudian dipandang perlu untuk mencari cara bagaimana memberitahu sekaligus mengundang orang-orang beriman untuk melakukan shalat tepat pada waktunya.
Jika gereja menggunakan lonceng, maka kaum muslimin memiliki cara berbeda. Itulah saat pertama kali Nabi meminta Bilal, dengan suaranya yang lantang dan merdu, untuk mengumandangkan Adzan, memanggil kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah shalat berjama’ah.
Sejak itu, Bilal rutin mengumandangkan adzan 5 kali dalam sehari untuk jangka waktu 10 tahun kemudian.
Bisa dikatakan bahwa Bilal selalu ikut serta dalam semua perang-perang awal kaum muslimin melawan kaum kafir, termasuk ketika Bilal harus berhadapan dengan mantan majikannya, Umayah bin Khalaf, di perang Badar.
Sebagian orang-orang yang berpikiran dangkal, mungkin protes, bagaimana seorang yang begitu rendah status sosialnya di mata masyarakat, seperti Bilal, mendapat kehormatan dan kepercayaan begitu besar dari Rasulullah SAW?
Ayat Qur’an Karim menjawabnya dalam Surat Al-Hujurat, ayat 13:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. 49:13)
Kehidupan selanjutnya
Setelah kewafatan Nabi Muhammad SAW, Bilal merasa tidak mampu lagi melakukan tugasnya di balik kesedihannya yang amat mendalam karena ditinggalkan ‘kekasihnya’: Rasulullah. Ia merasa bahwa hidup dan tinggal di Madinah, tidak akan pernah sama lagi seperti saat-saat ketika Rasulullah masih ada.
Kemudian Bilal melakukan perjalanan ke Syria. Pernah ia kembali hanya sekali saat dipanggil oleh cucu Rasulullah untuk mengumandangkan adzan terakhir kalinya. Diriwayatkan bahwa itulah saat paling emosional di antara semua yang hadir mendengarkan Bilal, muadzin pertama dalam Islam, sahabat terpercaya dan terdekat Rasulullah, kala mengumandangkan adzan untuk terakhir kalinya di Madinah.
Bilal akhirnya kembali ke penciptanya di Syria pada usia 60 tahun.
Cerita tentang Bilal, mengingatkan kita tentang bagaimana mencari kekuatan dalam kesulitan, serta bagaimana Islam mampu membawa seseorang dari derajat paling hina di mata masyarakat ke derajat mulia sebagai kepercayaan utusan Tuhan seru sekalian alam.
Meski beliau seorang budak, berkulit hitam legam dari Afrika serta berbicara bahasa Arab dengan logat yang berbeda dengan penduduk setempat, Rasulullah Muhammad SAW menempatkan beliau ke posisi mulia. Tentu, nabi ingin menunjukkan bahwa semua latar belakang itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Namun keimanan, keteguhan hati, komitmen terhadap kebenaran, itulah yang mengangkat derajat seseorang di mata Allah SWT.